Demistifikasi
Ajaran Islam
Aqidah Islamiyah merupakan bagian dari universalisme islam dan
menjadi karakteristik khusus ajaran islam yang berlaku untuk seluruh isi atau
penghuni yang ada di dunia . Menurut Sayyid
Sabiq, ada tiga faktor yang mendasari ajaran islam bersifat universal yaitu
syariah karakter khusus yang dimiliki
Allah diklasifikasikan menjadi dua bagian, syariah
yang bersifat mufashal atau
terperinci dan syariah yang bersifat mujmal atau general. Salah satu
keistimewaan ajaran Allah yaitu Syariah
Islamiyah yang diartikan apabila semua syariah memiliki penjelasan yang
jelas dan menyeluruh atau terperinci akan menyulitkan para fuqaha dalam menghadapi persoalan yang sedang dihadapinya dan dapat
menjadikan akal manusia tidak bisa berinofasi serta jumud.
Firman
Allah dalam surat Al- Maidah [5]:48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Dan
sebaliknya jika semua syariah
bersifat general maka akan berakibat aturan Allah menjadi tidak kokoh dan mudah
diubah, karena syariah selalu
bergantung kepada pemikirikan fuqaha disamping
itu manusia dalam segi pemikiran atau akan memiliki banyak kekurangan dan
kelemahan. Semua hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada
akhirnya akan mengakibatkan kekacauan.
A.
Hakikat Universalisme Islam
Universalisme
islam berlaku bagi seluruh kehidupan masyarakat yang terkait oleh sebuah
tradisi , keyakinan dan agama tertentu , yang hidup secara berdampingan dan
mengatur seluruh kehidupan duniawi mereka dengan cara kerja sama dan pembagian
tugas.
Dari
hal tersebut nilai persatuan dan kesatuan melahirkan gagasan-gagasan yang
mengacu kepada system kehidupan bersama. Interaksi sosial mempersatukan manusia
dalam hal kepentingan serta ikatan tertentu yang berkaitan dengan kehidupan
bersama, hal ini telah digambarkan oleh falsafah
al-amr bi al-maruf wa al-nahy ’an al-munkar dalam sebuah hadis Nabi Saw.
Berikut ini : “Sekelompok orang menumpang sebuah perahu berlayar dilaut dan
membelah gelombang. Masing-masing mendapat tempat duduk. Salah seorang dari
musafir itu menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat
sebuah lubang dibawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andaikata
musafir lain tidak segera menahan tangan musafir yang sedang membuat lubang dan
mencegahnya dari perbuatan demikian tentu mereka semua, termasuk si celaka itu
dan terancam tenggelam.”
Jadi
berdasarkan penjelasan atas ayat-ayat al-Quran di atas , kesimpulannya
universalisme bagi seorang muslim harus benar-benar dijiwai. Dan seorang
muslimpun harus memiliki jiwa “waqiyah”
yaitu dengan memahami kondisi objektif seorang manusia yang dapat menjawab
tantangan internal , global dan siap berkompetisi serta dapat menampilkan
kebudayaan dan peradaban universal.
Islam
merupakan kelompok atau komunitas yang terbaik yang berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa wahyu Allah bersifat mufashal dan mujmal . wahyu Allah yang bersifat mujmal tidak dapat terlepas dari persoalan yang melahirkan sebuah
perbedaan. untuk menghindari penyimpangan tersebut para ulama klasik telah
menetapkan metodelogi penafsiran wahyu yang “dibimbing Allah” melalui
kaidah-kaidah umum. pemahaman yang didukung oleh metodeologi yang benar akan
melahirkan budaya tolerasi , karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk
yang terbaik dan sekaligus menciptakan manusia sebagai makhluk yang lemah .
seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Tin [95]:4, dan surat al-Isra
[17:]:70 :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Jadi
kesimpulannya tugas seorang muslim dalam menyebarkan ajaran islam itu harus
secara professional dan proporsional.
B.
Tauhid, Syariah, dan Pemikiran
Islam
memiliki ajaran tmengenai “konsep ilmu” dan syiar
keimanan kepada Allah dalam tathbiq al-syariah.
Abdul Alim Abdul Adhim Al-Bastawi dalam Mas’ud Al Nadwi, menjelaskan bahwa
kedudukan tauhid dan syariah memiliki karakteristik yang
berbeda:
“Islam yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi kita Muhammad Saw, adalah agama yang paling tegas di dalam akidah
dan paling mudah dalam syariah.”
Surat
al-Nisa [4]:59 dan surat al-Taubah [9]:31 menjelaskan mengenai tekad untuk tathbiq al-syariah dalam berbagai
dimensi kehidupan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul (al-Sunnah).”
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih
putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa.”
Menurut Ibnu Katsir, makna “kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya” pada Surat al-Nisa [4] : 59 di atas, adalah bersandar kepada
ketentuan Allah. Menurut beliau :
“Allah akan marah kepada orang yang melanggar
ketentuan-Nya, yang mengandung seluruh kebaikan, yang melarang seluruh
kejahatan, dan berpling kepada sesuatu selain Dia, seperti pendapat orang,
emosi dan istilah lain yang dibuat orang tanpa bersandar kepada syariah Allah.”.
Sedangkan makna ahbarahum sebagai arbab pada Surat al-Taubah [9] : 31 di atas,
menurut Abdurahman bi Hasan, berarti :
“Menyembah orang-orang alim, adalah menyembah ilmu dan
fiqih, kemudian keadaan berubah menjadi menyembah kepada selain Allah, yaitu
bukan orang-orang salih, atau orang-orang bodoh.”
Demistifikasi
Islam menurut kuntowijoyo merupakan bagian paling perinsip dan mendasar dari
universalisme islam. Sehingga ayat al-qur’an yang bersifat general bisa
langsung berhubungan dengan kenyataan hidup.
Filsafat dan teknis pembaharuan
keilmuan Islam sebagai penopang tegaknya Islam, selamanya harus berpegang
kepada wahyu Allah. Dengan demikian, posisi Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam, akan lebih bermakna dan aplikatif manakala seorang Muslim bisa memahami
Islam adalah ilmu, dan Ilmu adalah Islam.
Kesimpulan :
Diharapkan agar universalisme
Islam ini bisa dipangku melalui upaya-upaya pemahaman Islam sampai mendasar,
dan menjadikan wahyu Allah sebagai konsep Islam, bukan filsafat yang hanya
bersandarkan akal pikiran manusia belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar