Kamis, 25 Juni 2015

Demistifikasi Ajaran Islam

Demistifikasi Ajaran Islam
Aqidah Islamiyah merupakan bagian dari universalisme islam dan menjadi karakteristik khusus ajaran islam yang berlaku untuk seluruh isi atau penghuni yang ada di dunia . Menurut Sayyid Sabiq, ada tiga faktor yang mendasari ajaran islam bersifat universal yaitu syariah karakter khusus yang dimiliki Allah diklasifikasikan menjadi dua bagian, syariah yang bersifat mufashal atau terperinci dan syariah yang bersifat mujmal atau general. Salah satu keistimewaan ajaran Allah yaitu Syariah Islamiyah yang diartikan apabila semua syariah memiliki penjelasan yang jelas dan menyeluruh atau terperinci akan menyulitkan para fuqaha dalam menghadapi persoalan yang sedang dihadapinya dan dapat menjadikan akal manusia tidak bisa berinofasi serta jumud.
Firman Allah dalam surat Al- Maidah [5]:48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Dan sebaliknya jika semua syariah bersifat general maka akan berakibat aturan Allah menjadi tidak kokoh dan mudah diubah, karena syariah selalu bergantung kepada pemikirikan fuqaha disamping itu manusia dalam segi pemikiran atau akan memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Semua hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan.

A.    Hakikat Universalisme Islam
Universalisme islam berlaku bagi seluruh kehidupan masyarakat yang terkait oleh sebuah tradisi , keyakinan dan agama tertentu , yang hidup secara berdampingan dan mengatur seluruh kehidupan duniawi mereka dengan cara kerja sama dan pembagian tugas. 
Dari hal tersebut nilai persatuan dan kesatuan melahirkan gagasan-gagasan yang mengacu kepada system kehidupan bersama. Interaksi sosial mempersatukan manusia dalam hal kepentingan serta ikatan tertentu yang berkaitan dengan kehidupan bersama, hal ini telah digambarkan oleh falsafah al-amr bi al-maruf wa al-nahy ’an al-munkar dalam sebuah hadis Nabi Saw. Berikut ini : “Sekelompok orang menumpang sebuah perahu berlayar dilaut dan membelah gelombang. Masing-masing mendapat tempat duduk. Salah seorang dari musafir itu menyatakan bahwa tempat duduknya adalah miliknya, mulai membuat sebuah lubang dibawah tempat duduknya dengan sebuah alat tajam. Andaikata musafir lain tidak segera menahan tangan musafir yang sedang membuat lubang dan mencegahnya dari perbuatan demikian tentu mereka semua, termasuk si celaka itu dan terancam tenggelam.”
Jadi berdasarkan penjelasan atas ayat-ayat al-Quran di atas , kesimpulannya universalisme bagi seorang muslim harus benar-benar dijiwai. Dan seorang muslimpun harus memiliki jiwa “waqiyah” yaitu dengan memahami kondisi objektif seorang manusia yang dapat menjawab tantangan internal , global dan siap berkompetisi serta dapat menampilkan kebudayaan dan peradaban universal.
Islam merupakan kelompok atau komunitas yang terbaik yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa wahyu Allah bersifat mufashal dan mujmal . wahyu Allah yang bersifat mujmal tidak dapat terlepas dari persoalan yang melahirkan sebuah perbedaan. untuk menghindari penyimpangan tersebut para ulama klasik telah menetapkan metodelogi penafsiran wahyu yang “dibimbing Allah” melalui kaidah-kaidah umum. pemahaman yang didukung oleh metodeologi yang benar akan melahirkan budaya tolerasi , karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang terbaik dan sekaligus menciptakan manusia sebagai makhluk yang lemah . seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Tin [95]:4, dan surat al-Isra [17:]:70 :
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Jadi kesimpulannya tugas seorang muslim dalam menyebarkan ajaran islam itu harus secara professional dan proporsional.

B.     Tauhid, Syariah, dan Pemikiran
Islam memiliki ajaran tmengenai “konsep ilmu” dan syiar keimanan kepada Allah dalam tathbiq al-syariah. Abdul Alim Abdul Adhim Al-Bastawi dalam Mas’ud Al Nadwi, menjelaskan bahwa kedudukan tauhid dan syariah memiliki karakteristik yang berbeda:
“Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi kita Muhammad Saw, adalah agama yang paling tegas di dalam akidah dan paling mudah dalam syariah.”


Surat al-Nisa [4]:59 dan surat al-Taubah [9]:31 menjelaskan mengenai tekad untuk tathbiq al-syariah dalam berbagai dimensi kehidupan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (al-Sunnah).”
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا  أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa.”
Menurut Ibnu Katsir, makna “kembali kepada Allah dan Rasul-Nya” pada Surat al-Nisa [4] : 59 di atas, adalah bersandar kepada ketentuan Allah. Menurut beliau :
“Allah akan marah kepada orang yang melanggar ketentuan-Nya, yang mengandung seluruh kebaikan, yang melarang seluruh kejahatan, dan berpling kepada sesuatu selain Dia, seperti pendapat orang, emosi dan istilah lain yang dibuat orang tanpa bersandar kepada syariah Allah.”. Sedangkan makna ahbarahum sebagai arbab pada Surat al-Taubah [9] : 31 di atas, menurut Abdurahman bi Hasan, berarti :
“Menyembah orang-orang alim, adalah menyembah ilmu dan fiqih, kemudian keadaan berubah menjadi menyembah kepada selain Allah, yaitu bukan orang-orang salih, atau orang-orang bodoh.”
Demistifikasi Islam menurut kuntowijoyo merupakan bagian paling perinsip dan mendasar dari universalisme islam. Sehingga ayat al-qur’an yang bersifat general bisa langsung berhubungan dengan kenyataan hidup.
Filsafat dan teknis pembaharuan keilmuan Islam sebagai penopang tegaknya Islam, selamanya harus berpegang kepada wahyu Allah. Dengan demikian, posisi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, akan lebih bermakna dan aplikatif manakala seorang Muslim bisa memahami Islam adalah ilmu, dan Ilmu adalah Islam.


Kesimpulan :
Diharapkan agar universalisme Islam ini bisa dipangku melalui upaya-upaya pemahaman Islam sampai mendasar, dan menjadikan wahyu Allah sebagai konsep Islam, bukan filsafat yang hanya bersandarkan akal pikiran manusia belaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar